Monday, May 19, 2008

Semua hanya perkara kebiasaan

Apabila anda diajukan pertanyaan, dimana tempat yang paling nyaman bagi Anda untuk tidur ?
a. Ranjang Spring bed
b. Ranjang katami (seperti orang Jepang / orang Korea)
c. Sofa empuk nan nyaman
d. Kursi direktur yang nyaman
e. lain-lain, sebutkan.......................

Mayoritas dari kita akan menjawab pilihan a, bukan ? Apabila orang Jepang atau Korea melihat pertanyaan ini, kemungkinan besar mereka akan menjawab b. Tetapi, bagaimana dengan pilihan c dan d? Siapa yang akan memilih pilihan ini ?

Di dalam keseharian kegiatan di lab, saya melihat seorang teman saya yang selalu nyenyak tidur di sebuah kursi. Kursi yang dibuat tidur tentunya bukan kursi kayu seperti kita jaman sekolah SD atau SMP dulu, atau juga kursi fiber atau dari bahan lain yang digunakan untuk perkuliahan. Kursi yang digunakan untuk tidur adalah kursi empuk nan nyaman, yang biasanya dipergunakan oleh para manager atau direktur sebuah perusahaan dan bisa diatur ketinggian serta kemiringan sandaran untuk kenyamanan penggunanya. Bahkan tipe sandarannya bisa diatur agar orang yang duduk dapat menikmati kenyamanan selama duduk di kursi tersebut.

Berdasarkan pengamatan saya, dia tidak tidur hanya barang 1 atau 2 jam. Tetapi, media kursi tersebut digunakan untuk layaknya kita tidur di rumah. Hampir setiap hari dia menikmati enaknya tidur di kursi pada jam tidur manusia normal. Cukup aneh bukan ?

Setelah sekian lama, saya mencoba berdiskusi dengan dia, mengapa kok dia bisa menikmati tidur di kursi nyaman tersebut, bukan tidur di rumah dengan hamparan spring bed atau katami yang biasa digunakan oleh orang Korea. Ada beberapa hal yang menarik untuk dikemukakan.

1. Faktor lokasi rumah
Rumah dia jauh dari kampus, sehingga dia memilih untuk tinggal di kampus daripada harus menghabiskan biaya transportasi ke rumahnya. Berhubung dia menggunakan mobil sebagai sarana transportasi, maka dapat dipastikan biaya yang ditimbulkan dari transportasi akan sangat besar (bensin, biaya perawatan, dsb.). Dengan kata lain, terpaksa harus tinggal di kampus untuk menghemat biaya.

2. Faktor kesibukan
Karena dia adalah pemimpin di lab, maka banyak pekerjaan yang diberikan ke dia. Lamanya perjalanan menuju rumah akan menimbulkan inefektivitas dan inefisiensi untuk melakukan pekerjaan. Mondar-mandir rumah-kampus sama dengna waktu yang dibutuhkan bagi dia untuk membaca sebuah journal Korea. Dengan kata lain, dia terpaksa tinggal di kampus agar pekerjaannya bisa selesai.

Kalau begitu, kenapa tidak beli ranjang atau sleeping bag untuk kenyamanan tidur di lab? Ternyata, kebijakan di jurusan kami adalah tidak memperbolehkan adanya ranjang atau tempat tidur di masing-masing laboratorium. Dan hal itu yang menyebabkan keterpaksaan seseorang untuk menikmati tempat tidur hanya berupa kursi yang nyaman.

Apakah enak tidur di kursi? Dia menjawab, hal ini sudah biasa dilakukan oleh dia dan orang-orang Korea lain. Karena kebiasaan, maka tidur di kursi itu menjadi sesuatu yang enak dan tidak menjadi masalah besar bagi keseharian dia.

Bagaimana dengan pendapat kita tentang hal ini? Setiap orang tentunya memiliki pandangan masing-masing tentang cerita di atas. Ada yang berpendapat bahwa orang ini pekerja keras (workaholic) sehingga dia akhirnya biasa untuk tidur di kursi. Ada yang berpendapat bahwa orang ini hidup pas-pasan sehingga dia hanya bisa menikmati kenyamanan sebuah kursi daripada mencari motel atau kos-kosan yang dekat dengan kampus. Ada yang berpendapat bahwa, itulah hidup orang Korea yang selalu diburu dengan deadline pekerjaan.

Masih banyak pendapat lain. Tetapi, saya tidak akan membahas pendapat itu satu per satu. Saya lebih ingin melihat makna kebiasaan di balik cerita ini. Bukankah sesuatu yang tidak nyaman akhirnya bisa nyaman karena faktor kebiasaan ? Bukankah sesuatu yang tidak enak akhirnya bisa jadi enak karena kebiasaan ? Bukankah sesuatu yang tidak biasa, akhirnya bisa jadi biasa karena dilakukan terus menerus ? Bukankah sesuatu yang tidak bisa akhirnya menjadi bisa karena faktor keterpaksaan ?

Ketika dalam kondisi "kepepet" atau terpaksa, maka manusia akan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang di luar batas pemikirannya. Ketika kita "dipepet" atau dihadapkan dengan situasi yang sulit, maka kita akan berpikir untuk mencari sesuatu hal yang bisa dilakukan tanpa berpikir nyaman, enak, biasa, dan sebagainya. Pokok'nya bisa dikerjakan, pokoknya bisa dilalui, pokoknya bisa selesai, dll.

Faktor kebiasaan berawal dari faktor keterpaksaan. Seringkali manusia mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan pekerjaan A karena dia tidak pernah melakukannya. Si B tidak bisa melakukan pekerjaan C karena tidak biasa melakukannya. Namun, cerita di atas menunjukkan bahwa manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk bisa mengatasi hambatan-hambatan atau keterbatasan-keterbatasan yang ada dengan segala hal. Dan, ketika kita biasa melakukannya (walaupun dengan terpaksa pada awalnya), maka kita akan merasa sesuatu yang tidak enak, sesuatu yang tidak nyaman, sesuatu yang tidak bisa... akan menjadi sesuatu yang nyaman, sesuatu yang enak, sesuatu yang menjadi kenikmatan tersendiri bagi kita.

Bagaimana dengan diri Anda ?

No comments: