Sunday, May 18, 2008

Iri Hati adalah awal kehancuran

Seringkali dalam kehidupan, kita sering membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita akan senang apabila kita mendapat lebih dari orang lain (uang, nilai, dll.). Dan kita akan merasa sedih ketika kita melihat orang lain yang mendapat lebih dari kita. Kita senang kalau gaji kita lebih tinggi dari orang lain. Kita senang kalau nilai Kuliah kita lebih tinggi dari orang lain. Tetapi, di lain sisi kita akan merasa sedih ketika gaji kita hanya segitu terus, sedangkan orang lain sudah mendapat lebih dan kenaikan terus. Atau... kita mendapat nilai yang tidak setimpal dengan usaha kita.

Sebagai seorang pelajar, hal yang harus dijadikan perhatian adalah nilai. Nilai pelajaran akan menjadi sebuah tolok ukur keberhasilan dalam menyelesaikan sebuah perkuliahan. Nilai juga menggambarkan tingkat pemahaman seorang pelajar pada subjek yang dipilihnya. Oleh karena itu, hasil (nilai) pelajaran akan sangat berpengaruh bagi kehidupan seorang pelajar.

Saya mengalami sebuah masa "iri hati". Ketika saya akan menghadapi UTS sebuah mata kuliah, saya belajar dan berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang terbaik. Berbagai cara telah diupayakan untuk mengerti pelajaran yang sangat susah untuk dimengerti. Tetapi berbeda dengan seorang teman. Dia tidak belajar mata kuliah tersebut karena ada satu dan lain hal yang harus dikerjakan. Dia lebih banyak berpasrah diri daripada berusaha belajar hal yang sangat susah dipahami.

Tiba saatnya ujian. Kami satu kelas mengerjakan soal selama 2 jam. Dan, teman yang berpasrah diri lebih banyak berdiam diri dan mencoba mencari tahu dari buku yang dibawanya. (status ujian : open book). Saya berusaha mengerjakan sebisa saya. Hasil ujian kami dapatkan 1 minggu kemudian. Alhasil, nilai saya dan nilai teman yang berpasrah diri hampir sama.

Saya benar2 merasa kacau. Bukankah saya belajar dan bisa menjawab hampir seluruh pertanyaan? Tetapi teman yang berpasrah diri ternyata mendapatkan nilai yang hampir sama dengan saya. Usaha yang saya keluarkan sepertinya tidak sebanding dengan nilai yang saya dapatkan... dibandingkan dengan usaha teman saya mendapatkan nilainya. Timbul pemikiran yang aneh-aneh dalam benak saya.

Setelah saya merenungkan, ternyata dosen mengatakan hal yang cukup melegakan hati. Nilai yang didapatkan teman saya adalah bukan nilai yang sebenarnya. Dalam artian, nilai tersebut adalah nilai yang berdasarkan belas kasih dosen saya karena teman saya tidak bisa menyelesaikan permasalahan dalam ujian tersebut. Saya cukup lega ketika dosen saya menjelaskan hal ini.

Bukankah kita sering mengalami hal seperti ini? Ketika kita melihat orang lain mendapat lebih baik, mendapat lebih banyak, mendapat lebih bagus... maka kita akan langsung membanding-bandingkan. Timbullah rasa iri hati yang tak bisa terbendung.

Pengalaman hidup saya mengajarkan pada saya pribadi bahwa hasil yang saya peroleh adalah hasil usaha saya dan orang lain pasti bisa melihat hasil usaha saya, tanpa saya harus membandingkan dengan orang lain. "Iri hati" akan menimbulkan dosa yang ujungnya berakhir pada kehancuran. "Iri hati" karena orang lain mendapat lebih banyak, justru membuat kita terhambat untuk melakukan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan, ketika kita sudah berusaha keras, orang lain (yang ahli tentunya) akan mengerti bahwa nilai pelajaran adalah bukan segalanya dibandingkan dengan pemahaman tentang pelajaran tersebut. Nilai hanya sebuah tolok ukur. Sedangkan pemahaman pelajaran tersebut akan berguna bagi kita di masa depan.

Mari, kita belajar untuk menghargai usaha diri kita, menghargai apa yang kita dapatkan tanpa membanding-bandingkan dengan orang lain. Hasil yang didapatkan dengan usaha terbaik kita akan memberi kepuasan tersendiri daripada harus iri hati dengan orang lain yang belum tentu melakukan terbaik seperti diri kita.

No comments: