Thursday, February 19, 2009

Iman dan pengharapan

Manusia cukup takabur dengan kedua arti yang tersebut di judul di atas. Seseorang yang memiliki iman (believe) akan mempercayai sebuah doktrin-doktrin dari sebuah pengajaran, pendidikan, ataupun dari kepercayaan yang telah turun-temurun. Pengharapan adalah hasil dari iman yang dipercayainya.

Melihat fenomena Ponari, keputusasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan menjadikan iman sebagai sumber jawaban. Iman yang seharusnya ditujukan pada sebuah hal yang benar (kepada Yang Maha Kuasa, kepada Yang Maha Esa), justru ditujukan kepada kejadian alam semesta (nalar manusia, halilintar, dsb.). Kebutaan manusia terhadap Sang Pencipta membuat manusia buta terhadap jawaban hidup yang tak kunjung datang. Ketika perekonomian menjadi sulit, suasana keluarga yang penuh konflik, pekerjaan yang tak kunjung beres, pimpinan yang selalu marah, rumah yang tak pernah terurus, dll.... semuanya menjurus kepada keputus-asaan dan pasrah sempurna, serambi mencari sumber-sumber iman yang luar biasa... yang supranatural, yang tidak pernah diceritakan orang sebelumnya, yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya.

Kejadian dukun Ponari yang masih belum bisa dijawab secara medis, membuat pro dan kontra di dunia medis. Tetapi, banyak analisa yang bisa dipetik dari kejadian ini.

1. Instanisasi
Iman yang benar, yang harusnya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, justru diarahkan kepada hal-hal alam dan manusia. Tuhan yang telah menunjuk pemerintah untuk menjadi perpanjangan tanganNya, Tuhan yang juga bisa menunjuk manusia (siapapun dia termasuk Ponari) untuk menjadi perpanjangan tanganNya. Tetapi, bagaimana kita bisa melihat bahwa kejadian batu yang tersambar petir tersebut bisa memberi kesembuhan luar biasa pada pasien-pasien yang datang ke dukun Ponari, tanpa ada analisa klinis lebih lanjut ?
Manusia lebih percaya pada sebuah hal yang instan, yang bisa diraih dalam waktu dekat, bukan jangka panjang. Melihat Tuhan, melihat surga adalah sesuatu yang masih SANGAT jauh. Hidup esok aja masih tak menentu, mengapa harus melihat masa depan yang masih sangat jauh. Besok mau makan apa, masih belum tahu. Tetapi, manusia lain sudah mengajarkan tentang Nirwana yang indah sebagai buah dari iman kepada Tuhan.
Iman yang keliru akan menghasilkan pengharapan yang keliru pula. Artinya, manusia bukan lagi percaya kepada Pencipta yang Agung, tetapi percaya kepada manusia atau kejadian2 yang bisa memberikan solusi seketika, nalar yang bisa memberikan jaminan kehidupan.

Maka tak heran, begitu dukun Ponari ditutup, dukun Dewi bertindak. Dan, tak begitu mengejutkan, banyak wakil rakyat yang datang ke praktek paranormal untuk melihat prospek masa depan.

2. Pendidikan.
Sinetron di Indonesia, yang perlahan sudah "agak" berubah (tetapi masih memunculkan mistis), adalah sebuah media pendidikan tidak langsung bagi masyarakat. Bagi golongan ekonomi lemah, mereka tidak bisa menikmati pendidikan bangku sekolah. Alhasil, mereka hanya menikmati sajian sinetron setiap hari. Apabila sinetron menayangkan kejadian2 mistis, hal-hal yang berbau instan, kekerasan, perselisihan, iri hati, balas dendam, maka semua itu akan menjadi sebuah "believe" baru di hati para masyarakat. Mereka akan "mencontoh" apa yang mereka lihat.

Pendidikan bisa terbagi menjadi "learning by doing", "learning by seeing", "learning by experience", "learning by listening". Bangku pendidikan memiliki taraf metode pendidikan yang rendah karena hanya "listening", kurang mencakup area "doing", "seeing", dan "experience". Dan, ketiga area tersebut justru lebih banyak didapatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di lingkungannya. (rapat RT, karang taruna, olahraga bersama penduduk desa, dll.). Pakar psikolog pun akan mengatakan bahwa pendidikan "learning by listening" perlu diikuti dengan metode-metode lain untuk lebih bisa memberi dampak bagi peserta didik. Sekolah-sekolah di daerah masih belum banyak yang menggunakan Experience based learning. Oleh karena itu, fenomena Ponari, sebagai bagian dari "experience", tentunya memunculkan iman baru bagi masyarakat.. dan memberi pengharapan kehidupan baru bagi yang menikmati pengalaman tersebut.

3. Teladan
Keteladanan adalah faktor berikutnya. Para petinggi (pejabat) di kalangan tertentu pun sampai ikut antri di rumah Ponari. Keikutsertaan mereka, yang dianggap sebagai teladan masyarakat, tentunya menjadi sebuah ikon tersendiri yang akan memberi dampak bagi lingkungan masyarakat yang masih mudah dipengaruhi.
"Pejabatnya aja juga pergi ke sana kok", "Petingginya juga ikut antri kok", dll... pasti masyarakat juga percaya bahwa hal itu benar. Pemimpin (pejabat, petinggi masyarakat) tidak melihat esensi keteladanan sebagai sebuah hal yang perlu dicermati lebih lanjut. Mereka hanya melihat kepentingan pribadi, tanpa melihat atribut yang mereka miliki. Alhasil, masyarakat juga akhirnya ikut apa yang mereka lakukan.

Kepemimpinan Semut (yang pernah saya bahas sebelumnya) memberi pencerahan bagaimana seekor semut bisa memberikan pengaruh bagi semut yang lainnya. Begitu pula manusia yang masih belum memiliki pendirian kokoh terhadap hidupnya. Selalu saja terombang-ambing dengan suara mayoritas, selalu melihat siapa yang ikut, selalu melihat hasil yang baik. Itulah manusia.

Ketiga nilai di atas cukup memberikan bukti kepada kita bahwa sebuah iman bisa menghasilkan sebuah pengharapan yang benar. Jangan melihat kepada manusia, tetapi melihat kepada Tuhan, sumber berkat dan sumber pengharapan itu. Ketika praktek Ponari dihentikan, apa yang terjadi ? Manusia mulai kembali dalam kehidupan semula, dalam lingkungan yang sama dengan sebelumnya (sakit penyakit, dsb.). Semua kembali dalam suasana hampa.

Ada baiknya, pemerintah mulai melakukan aksi gerakan keteladanan, mengarahkan masyarkat untuk memiliki pengetahuan yang benar tentang praktek Ponari. Para pakar boleh mengatakan bahwa hal ini adalah sugesti, tetapi pemerintah perlu ambil bagian dalam ilmu pengetahuan yang benar, seperti bagaimana kandungan air yang sudah dicelup batu milik Ponari. Apakah secara ilmiah dapat dibuktikan ada perbedaan dengan air biasa? Para ahli perlu berkomentar, apa efek halilintar terhadap sebuah batuan. Bagaimana struktur batu tersebut. Kejadian halilintar tersebut dapat mengubah batu itu sehingga memiliki mineral yang mampu menyembuhkan bibit-bibit penyakit atau membunuh virus-virus, sehingga fenomena itu bukanlah fenomena mistis, tetapi sebuah kejadian alam yang bisa diterangkan secara ilmiah.

Kejadian alam semesta dapat diterangkan secara ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada hal kejadian alam yang tidak dapat diterangkan secara ilmiah. Hanya kejadian Tuhan, kehendak Tuhan, semua hal yang berhubungan dengan Yang Maha Esa, tidak bisa dijelaskan dengan nalar. (Bahkan Tuhan pun mengutus manusia untuk menguasai alam, bukan dikuasai alam). Namun, manusia lebih cenderung menyerah kepada alam daripada menguasai alam. Konyol bukan ?

No comments: