Monday, February 23, 2009

Meminta maaf

Salah satu hal yang paling memberatkan manusia adalah meminta maaf. Sangatlah susah bagi seseorang yang tidak bersalah untuk meminta maaf. Apalagi, ketika seseorang mau memperjuangkan sebuah kebenaran dan terakhir tersodok bahwa apa yang dilakukannya itu bukan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Peristiwa surat yang dilayangkan oleh Pertamina kepada DPR Komisi VII adalah sebuah peristiwa unik dan cukup ramai diperbincangkan di kalangan elit politik. Sebuah kata "pengawasan" yang kemudian diartikan berbeda oleh pihak Pertamina dan dikritisi dalam bentuk sebuah surat permohonan, akhirnya menjadi konflik "harga diri" yang berlangsung alot dan mencuat di media sebagai pergunjingan yang menarik.

Tidak menutup kemungkinan, hal seperti ini akan terjadi di dalam kehidupan kita. Ketika harga diri tetap menjadi tameng atau hal yang berjalan di depan kehidupan kita, maka itu akan menjadi sebuah pelindung sakti yang tidak membuat kita bergerak kepada kerendahan hati. Kokohnya harga diri akan membuat kita semakin kuat dalam melangkah dan membuat hati kita keras seperti batu, sehingga mudah terkikis oleh aliran air deras. Begitulah yang terjadi pada elit politis dan pihak eksekutif BUMN paling bergengsi ini.

Sebuah perubahan yang hendak dilakukan oleh Pertamina ternyata membuahkan "hasil" yang menusuk balik. Tetapi, dengan demikian masyarakat umum dapat melihat arti sebuah kebenaran. Buah yang dihasilkan dari perdebatan dan pergunjingan selama beberapa pekan ini membuat orang-orang berpikir bagaimana legislatif kita.. dan bagaimana perkembangan masyarakat di saat2 ini.

Budaya meminta maaf ternyata masih menjadi sebuah ujung tombak dalam sebuah pergunjingan "harga diri". 1 kata penyesalan ini dapat menyembuhkan luka-luka yang timbul akibat tulisan sebuah surat yang berisikan permohonan. Sungguh ironis ketika kritik dan saran ditanggapi dengan begitu alot dan membuat konflik berkepanjangan. Tapi, pelajaran dari secuplik cerita di atas bisa memberikan makna bagi kehidupan kita di masa mendatang, bahwa kita manusia masih kurang bisa menerima dengan legawa kritik dan saran. Dan disaat itulah, hanya kata "maaf" yang dapat memulihkan luka hati dari sindiran atau kata2 yang kurang tepat.

Sebenarnya, ... siapa yang salah ? Anda yang bisa menilai... siapa yang seharusnya minta maaf dan siapa yang seharusnya bertahan.....
Udah minta maaf pun, kritikan masih berlangsung... so ?
http://www.detikfinance.com/read/2009/02/23/162029/1089170/4/rapat-berakhir-damai-dirut-pertamina-dikritik-bak-indonesian-idol

Thursday, February 19, 2009

Iman dan pengharapan

Manusia cukup takabur dengan kedua arti yang tersebut di judul di atas. Seseorang yang memiliki iman (believe) akan mempercayai sebuah doktrin-doktrin dari sebuah pengajaran, pendidikan, ataupun dari kepercayaan yang telah turun-temurun. Pengharapan adalah hasil dari iman yang dipercayainya.

Melihat fenomena Ponari, keputusasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan menjadikan iman sebagai sumber jawaban. Iman yang seharusnya ditujukan pada sebuah hal yang benar (kepada Yang Maha Kuasa, kepada Yang Maha Esa), justru ditujukan kepada kejadian alam semesta (nalar manusia, halilintar, dsb.). Kebutaan manusia terhadap Sang Pencipta membuat manusia buta terhadap jawaban hidup yang tak kunjung datang. Ketika perekonomian menjadi sulit, suasana keluarga yang penuh konflik, pekerjaan yang tak kunjung beres, pimpinan yang selalu marah, rumah yang tak pernah terurus, dll.... semuanya menjurus kepada keputus-asaan dan pasrah sempurna, serambi mencari sumber-sumber iman yang luar biasa... yang supranatural, yang tidak pernah diceritakan orang sebelumnya, yang tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya.

Kejadian dukun Ponari yang masih belum bisa dijawab secara medis, membuat pro dan kontra di dunia medis. Tetapi, banyak analisa yang bisa dipetik dari kejadian ini.

1. Instanisasi
Iman yang benar, yang harusnya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, justru diarahkan kepada hal-hal alam dan manusia. Tuhan yang telah menunjuk pemerintah untuk menjadi perpanjangan tanganNya, Tuhan yang juga bisa menunjuk manusia (siapapun dia termasuk Ponari) untuk menjadi perpanjangan tanganNya. Tetapi, bagaimana kita bisa melihat bahwa kejadian batu yang tersambar petir tersebut bisa memberi kesembuhan luar biasa pada pasien-pasien yang datang ke dukun Ponari, tanpa ada analisa klinis lebih lanjut ?
Manusia lebih percaya pada sebuah hal yang instan, yang bisa diraih dalam waktu dekat, bukan jangka panjang. Melihat Tuhan, melihat surga adalah sesuatu yang masih SANGAT jauh. Hidup esok aja masih tak menentu, mengapa harus melihat masa depan yang masih sangat jauh. Besok mau makan apa, masih belum tahu. Tetapi, manusia lain sudah mengajarkan tentang Nirwana yang indah sebagai buah dari iman kepada Tuhan.
Iman yang keliru akan menghasilkan pengharapan yang keliru pula. Artinya, manusia bukan lagi percaya kepada Pencipta yang Agung, tetapi percaya kepada manusia atau kejadian2 yang bisa memberikan solusi seketika, nalar yang bisa memberikan jaminan kehidupan.

Maka tak heran, begitu dukun Ponari ditutup, dukun Dewi bertindak. Dan, tak begitu mengejutkan, banyak wakil rakyat yang datang ke praktek paranormal untuk melihat prospek masa depan.

2. Pendidikan.
Sinetron di Indonesia, yang perlahan sudah "agak" berubah (tetapi masih memunculkan mistis), adalah sebuah media pendidikan tidak langsung bagi masyarakat. Bagi golongan ekonomi lemah, mereka tidak bisa menikmati pendidikan bangku sekolah. Alhasil, mereka hanya menikmati sajian sinetron setiap hari. Apabila sinetron menayangkan kejadian2 mistis, hal-hal yang berbau instan, kekerasan, perselisihan, iri hati, balas dendam, maka semua itu akan menjadi sebuah "believe" baru di hati para masyarakat. Mereka akan "mencontoh" apa yang mereka lihat.

Pendidikan bisa terbagi menjadi "learning by doing", "learning by seeing", "learning by experience", "learning by listening". Bangku pendidikan memiliki taraf metode pendidikan yang rendah karena hanya "listening", kurang mencakup area "doing", "seeing", dan "experience". Dan, ketiga area tersebut justru lebih banyak didapatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di lingkungannya. (rapat RT, karang taruna, olahraga bersama penduduk desa, dll.). Pakar psikolog pun akan mengatakan bahwa pendidikan "learning by listening" perlu diikuti dengan metode-metode lain untuk lebih bisa memberi dampak bagi peserta didik. Sekolah-sekolah di daerah masih belum banyak yang menggunakan Experience based learning. Oleh karena itu, fenomena Ponari, sebagai bagian dari "experience", tentunya memunculkan iman baru bagi masyarakat.. dan memberi pengharapan kehidupan baru bagi yang menikmati pengalaman tersebut.

3. Teladan
Keteladanan adalah faktor berikutnya. Para petinggi (pejabat) di kalangan tertentu pun sampai ikut antri di rumah Ponari. Keikutsertaan mereka, yang dianggap sebagai teladan masyarakat, tentunya menjadi sebuah ikon tersendiri yang akan memberi dampak bagi lingkungan masyarakat yang masih mudah dipengaruhi.
"Pejabatnya aja juga pergi ke sana kok", "Petingginya juga ikut antri kok", dll... pasti masyarakat juga percaya bahwa hal itu benar. Pemimpin (pejabat, petinggi masyarakat) tidak melihat esensi keteladanan sebagai sebuah hal yang perlu dicermati lebih lanjut. Mereka hanya melihat kepentingan pribadi, tanpa melihat atribut yang mereka miliki. Alhasil, masyarakat juga akhirnya ikut apa yang mereka lakukan.

Kepemimpinan Semut (yang pernah saya bahas sebelumnya) memberi pencerahan bagaimana seekor semut bisa memberikan pengaruh bagi semut yang lainnya. Begitu pula manusia yang masih belum memiliki pendirian kokoh terhadap hidupnya. Selalu saja terombang-ambing dengan suara mayoritas, selalu melihat siapa yang ikut, selalu melihat hasil yang baik. Itulah manusia.

Ketiga nilai di atas cukup memberikan bukti kepada kita bahwa sebuah iman bisa menghasilkan sebuah pengharapan yang benar. Jangan melihat kepada manusia, tetapi melihat kepada Tuhan, sumber berkat dan sumber pengharapan itu. Ketika praktek Ponari dihentikan, apa yang terjadi ? Manusia mulai kembali dalam kehidupan semula, dalam lingkungan yang sama dengan sebelumnya (sakit penyakit, dsb.). Semua kembali dalam suasana hampa.

Ada baiknya, pemerintah mulai melakukan aksi gerakan keteladanan, mengarahkan masyarkat untuk memiliki pengetahuan yang benar tentang praktek Ponari. Para pakar boleh mengatakan bahwa hal ini adalah sugesti, tetapi pemerintah perlu ambil bagian dalam ilmu pengetahuan yang benar, seperti bagaimana kandungan air yang sudah dicelup batu milik Ponari. Apakah secara ilmiah dapat dibuktikan ada perbedaan dengan air biasa? Para ahli perlu berkomentar, apa efek halilintar terhadap sebuah batuan. Bagaimana struktur batu tersebut. Kejadian halilintar tersebut dapat mengubah batu itu sehingga memiliki mineral yang mampu menyembuhkan bibit-bibit penyakit atau membunuh virus-virus, sehingga fenomena itu bukanlah fenomena mistis, tetapi sebuah kejadian alam yang bisa diterangkan secara ilmiah.

Kejadian alam semesta dapat diterangkan secara ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada hal kejadian alam yang tidak dapat diterangkan secara ilmiah. Hanya kejadian Tuhan, kehendak Tuhan, semua hal yang berhubungan dengan Yang Maha Esa, tidak bisa dijelaskan dengan nalar. (Bahkan Tuhan pun mengutus manusia untuk menguasai alam, bukan dikuasai alam). Namun, manusia lebih cenderung menyerah kepada alam daripada menguasai alam. Konyol bukan ?

Kepemimpinan Ala Semut (1)

Saya mencoba mengupas kepemimpinan dengan analogi dari kehidupan mahluk hidup selain manusia. Untuk kali ini, saya mau mencoba menuliskan bagaimana kepemimpinan semut di dalam kehidupan sehari-hari.


Sebuah penelitian menerangkan bahwa serangga memiliki stigmerty, sebuah bentuk komunikasi tak langsung hasil modifikasi dari lingkungan. Ketika serangga tersebut berjalan ataupun melakukan aktivitas apapun juga, serangga tersebut akan mengeluarkan cairan kimia tertentu. Untuk semut, cairan yang dikeluarkan bernama feromon (fero = pembawa, mone = sensasi) adalah zat kimia yang berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh mahluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok dan untuk membantu proses reproduki. Cairan ini berbeda dengan hormon, dimana feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies). [wikipedia]

Setiap semut yang melintasi sebuah area tertentu, dia akan meninggalkan jejak feromon di jalan yang dia lewati. Sebagai contoh, ketika seekor semut hendak mencari makan, maka ia akan melewati sebuah jalan tertentu. Jejak feromon yang ditinggalkan itu akan dicium oleh semut lain sehingga semut lain bisa mendapatkan makanan yang memiliki kualitas sama dengan semut sebelumnya. Semakin banyak semut yang melewati jalan tersebut, maka semut lain pun akan melewati jalan tersebut untuk mencari letak sumber makanan yang dicarinya.

Begitu pula dengan kepemimpinan manusia. Apa yang dilakukan pendahulunya, akan diikuti oleh pengikut atau yuniornya. Jejak kepemimpinan periode sebelumnya akan menjadi panutan bagi kepemimpinan periode berikutnya. Semakin banyak "feromon" (hasil baik, niat baik, hal baik) yang ditinggalkan, maka jejak tersebut (program kerja, cara kerja, kebijakan, dll.) akan diikuti oleh pemimpin periode berikutnya.

Menjadi seorang pemimpin tentunya tidak mudah seperti seekor semut yang berjalan. Seorang pemimpin perlu melihat kapabilitas anak buah, lingkungan sekitar, tujuan organisasi, kepentingan orang banyak, dan banyak hal lain yang bisa memberi kontribusi "feromon" yang banyak. Bagaimanakah dengan kepemimpinan Anda ?